Sunday, January 24, 2016

MAKALAH FILSAFAT PANCASILA

    


















Disusun oleh:
§     Delvi Suci
§     Firda Fairisa Azhar
§     Hasna Nabilah Herwina
§     Siti Kurniasih

Akuntansi C – Semester 2
STIE Sebelas April Sumedang
2014/2015



 
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Filsafat Pancasila ini dengan baik. Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah, pendidikan kewarganegaraan. Makalah ini menjelaskan lebih mendalam mengenai ideologi Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia dengan bahasa yang lebih mudah untuk di cerna dan di pahami.
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang penulis peroleh dari buku panduan yang berkaitan dengan Pancasila, serta infomasi dari media massa yang berhubungan dengan filsafat Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia.
Penulis berharap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai Pancasila yang ditinjau dari aspek filsafat atau falsafah, khususnya bagi penulis. Akhir kata, mungkin dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan. Kritik dan saran tentunya sangat kami harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan. Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, sehingga makalah ini dapat terselesaikan.



Sumedang, Februari 2015

Penulis            


BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Sebagai dasar dan pandangan hidup bangsa Indonesia, Pancasila kembali diuji ketahanannya dalam era reformasi sekarang. Merekahnya matahari bulan Juni 1945, 67 tahun yang lalu disambut dengan lahirnya sebuah peristiwa yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, yaitu lahirnya Pancasila.
Sebagai filsafat negara, tentu Pancasila ada yang merumuskannya. Pancasila memang merupakan karunia terbesar dari Allah SWT dan ternyata merupakan pedoman bagi segenap bangsa Indonesia di masa-masa selanjutnya, baik sebagai pedoman dalam memperjuangkan kemerdekaan, juga sebagai alat pemersatu dalam hidup kerukunan berbangsa, serta sebagai pandangan hidup untuk kehidupan manusia Indonesia sehari-hari, serta menjadi dasar sekaligus filsafat negara Republik Indonesia.
Pancasila telah ada dalam segala bentuk kehidupan rakyat Indonesia. Pancasila lahir 1 Juni 1945, ditetapkan pada 18 Agustus 1945 bersama-sama dengan UUD 1945. Bunyi dan ucapan Pancasila yang benar berdasarkan Inpres Nomor 12 tahun 1968 adalah satu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Tiga, Persatuan Indonesia. Empat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dan kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa di antara tokoh perumus Pancasila itu ialah, Mr Mohammad Yamin, Prof Mr Soepomo, dan Ir Soekarno. Dapat dikemukakan mengapa Pancasila itu sakti dan selalu dapat bertahan dari guncangan krisis politik di negara ini, yaitu pertama ialah karena secara intrinsik dalam Pancasila itu mengandung toleransi, dan siapa yang menantang Pancasila berarti dia menentang toleransi.
Kedua, Pancasila merupakan wadah yang cukup fleksibel, yang dapat mencakup faham-faham positif yang dianut oleh bangsa Indonesia, dan faham lain yang positif tersebut mempunyai keleluasaan yang cukup untuk memperkembangkan diri. Yang ketiga, karena sila-sila dari Pancasila itu terdiri dari nilai-nilai dan norma-norma yang positif sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia, selain itu, ideologi kediktatoran juga ditolak, karena bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang berprikemanusiaan dan berusaha untuk berbudi luhur.
Dengan demikian bahwa filsafat Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia yang harus diketahui oleh seluruh warga negara Indonesia agar menghormati, menghargai, menjaga dan menjalankan apa-apa yang telah dilakukan oleh para pahlawan khususnya pahlawan proklamasi yang telah berjuang untuk kemerdekaan negara Indonesia ini. Sehingga baik golongan muda maupun tua tetap meyakini Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tanpa adanya keraguan guna memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia.

1.2    Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan ulasan singkat latar belakang di atas, maka dapat disusunlah rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apakah yang dimaksud dengan filsafat pancasila?
2.      Bagaimana gaya dan model berpikir filsafat?
3.      Apa saja tahapan dalam berfilsafat?
4.      Bagaimana implementasi filsafat pancasila dalam kewarganegaraan?
5.      Bagaimana permasalahan dan solusi dalam filsafat pancasila?
6.      Bagaimana perkembangan filsafat pancasila dalam Pendidikan Kewarganegaraan?

1.3    Tujuan
1.      Memenuhi salah satu tugas mata kuliah ‘Pendidikan Kewarganegaraan’
2.      Mengetahui pengertian dan esensi filsafat pancasila
3.      Mengetahui macam-macam gaya dan model berpikir filsafat
4.      Mengetahui macam-macam tahapan dalam berfilsafat
5.      Mengetahui implementasi filsafat pancasila dalam kewrganegaraan
6.      Mengetahui masalah yang ditimbulkan dan solusinya dalam filsafat pancasila
7.      Mengetahui perkembangan filsafat pancasila dalam Pendidikan Kewarganegaraan



BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Pengertian dan Esensi Filsafat Pancasila
Pengertian filsafat Pancasila secara umum adalah hasil berpikir/pemikiran yang sedalam-dalamnya dari bangsa Indonesia yang dianggap, dipercaya dan diyakini sebagai sesuatu (kenyataan, norma-norma, nilai-nilai) yang paling benar, paling adil, paling bijaksana, paling baik dan paling sesuai bagi bangsa Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila.
Kalau dibedakan anatara filsafat yang religius dan non religius, maka filsafat Pancasila tergolong filsafat yang religius.Ini berarti bahwa filsafat Pancasila dalam hal kebijaksanaan dan kebenaran mengenal adanya kebenaran mutlak yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa (kebenaran religius) dan sekaligus mengakui keterbatasan kemampuan manusia, termasuk kemampuan berpikirnya.
Dan kalau dibedakan filsafat dalam arti teoritis dan filsafat dalam arti praktis, filsafat Pancasila digolongkan dalam arti praktis. Ini berarti bahwa filsafat Pancasila di dalam mengadakan pemikiran yang sedalam-dalamnya, tidak hanya bertujuan mencari kebenaran dan kebijaksanaan, tidak sekedar untuk memenuhi hasrat ingin tahu dari manusia yang tidak habis-habisnya, tetapi juga hasil pemikiran yang berwujud filsafat Pancasila tersebut dipergunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari (pandangan hidup, filsafat hidup, way of the life, Weltanschaung dan sebagainya); agar hidupnya dapat mencapai kebahagiaan lahir dan batin, baik di dunia maupun di akhirat.
Pancasila adalah dasar Filsafat Negara Republik Indonesia yang secara resmi isahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 dan tercantum dalam UUD 1945, diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia bersama dengan UUD 1945. Pancasila dari bahasa Sanskerta yaitu “panca”(lima) dan “syila” (dasar). Pertama kali digunakan sebagai nama 5 Dasar Negara pada 1 juni 1945 oleh Ir.Soekarno.
Bangsa Indonesia sudah ada sejak zaman Sriwijaya dan zaman Majapahit dalam satu kesatuan. Namun, dengan datangnya bangsa-bangsa barat  persatuan dan kesatuan itu dipecah oleh mereka dalam rangka menguasai daerah Indonesia yang kaya raya ini. pada awalnya perjuangan dilakukan secara perang, karena dengan cara tersebut gagal maka bangsa Indonesia menggunakan cara politik. Di awali dengan suatu badan yang diberi nama BPUPKI. Badan ini diresmikan tanggal 28 Mei 1945 oleh pemerintah Jepang.
Tanggal 29 Mei 1945 Mr. Muhammad Yamin mengutarakan prinsip dasar Negara. Pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno berpidato membahas dasar negara. Dan  pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan undang-undang dasar yang diberi nama Undang-Undang Dasar 1945. Sekaligus dalam pembukaan Undang-Undang Dasar sila-sila Pancasila ditetapkan. Jadi, Pancasila sebagai filsafat bangsa Indonesia ditetapkan bersamaan dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945, dan menjadi ideologi bangsa Indonesia. Arti Pancasila sebagai dasar filsafat negara adalah sama dan mutlak bagi seluruh tumpah darah Indonesia.

2.2    Gaya dan Model Berpikir Filsafat
1.    Berfikir secara radikal. Artinya berfikir sampai ke akar-akarnya. Radikal berasal dari kata Yunani radix yang berarti akar. Maksud dari berfikir sampai ke akar-akarnya adalah berfikir sampai pada hakikat, esensi atau sampai pada substansi yang dipikirkan. Manusia yang berfilsafat dengan akalnya berusaha untuk dapat menangkap pengetahuan hakiki, yaitu pengetahuan yang mendasari segala pengetahuan indrawi, bukan sekedar mengetahui mengapa sesuatu menjadi demikian, melainkan apa sebenarnya sesuatu itu, apa maknanya.
2.    Berfikir secara universal atau umum. Berfikir secara umum adalah berfikir tentang hal-hal serta suatu proses yang bersifat umum. Jalan yang dituju oleh seorang filsuf adalah keumuman yang diperoleh dari hal-hal yang bersifat khusus yang ada dalam kenyataan. Yaitu berpikir kefilsafatan sebagaimana pengalaman umumnya. Misalnya melakukan penalaran dengan menggunakan rasio atau empirisnya, bukan menggunakan intuisinya. Sebab, orang yang dapat memperoleh kebenaran dengan menggunakan intuisinya tidaklah umum di dunia ini. Hanya orang tertentu saja.
3.    Berfikir secara konseptual, yaitu dapat berpikir melampaui batas pengalaman sehari-hari manusia, sehingga menghasilkan pemikiran baru yang terkonsep.
4.    Berfikir secara koheren dan konsisten. Artinya, berfikir sesuai dengan kaidah-kaidah berfikir dan tidak mengandung kontradiksi atau dapat pula diartikan dengan berfikir secara runtut. Yaitu berpikir kefilsafatan harus sesuai dengan kaedah berpikir (logis) pada umumnya dan adanya keterkaitan antara satu konsep dengan konsep lainnya.
5.    Berfikir secara sistematik. Dalam mengemukakan jawaban terhadap suatu masalah, para filsuf memakai pendapat-pendapat sebagai wujud dari proses befilsafat. Pendapat-pendapat itu harus saling berhubungan secara teratur dan terkandung maksud dan tujuan tertentu. Yaitu dalam berpikir kefilsafatan antara satu konsep dengan konsep yang lain memiliki keterkaitan berdasarkan azas keteraturan untuk mengarah suatu tujuan tertentu.
6.    Berfikir secara komprehensif (menyeluruh). Berfikir secara filsafat berusaha untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan. Yaitu dalam berpikir filsafat, hal, bagian, atau detail-detail yang dibicarakan harus mencakup secara menyeluruh sehingga tidak ada lagi bagian-bagian yang tersisa ataupun yang berada diluarnya.
7.    Berfikir secara bebas. Bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural ataupun religius. Berfikir dengan bebas itu bukan berarti sembarangan, sesuka hati, atau anarkhi, sebaliknya bahwa berfikir bebas adalah berfikir secara terikat . akan tetapi ikatan itu berasal dari dalam, dari kaidah-kaidah, dari disiplin fikiran itu sendiri. Dengan demikian pikiran dari luar sangat bebas, namun dari dalam sangatlah terikat. Yaitu dalam berpikir kefilsafatan tidak ditentukan, dipengaruhi, atau intervensi oleh pengalaman sejarah ataupun pemikiran-pemikiran yang sebelumnya, nilai-nilai kehidupan social budaya, adat istiadat, maupun religious.
8.    Berfikir atau pemikiran yang bertanggungjawab. Pertanggungjawaban yang pertama adalah terhadap hati nuraninya sendiri dan kehidupan sosial. Seorang filsuf seolah-olah mendapat panggilan untuk membiarkan pikirannya menjelajahi kenyataan. Namun, fase berikutnya adalah bagaimana ia merumuskan pikiran-pikirannya itu agar dapat dikomunikasikan pada orang lain serta dipertanggungjawabkan.

2.3    Tahapan Berfilsafat
Ø Ontologi
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filosof yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang berwujud dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada manusia, ada alam, dan ada kuasa prima dalam suatu hubungan yang menyeluruh, teratur, dan tertib dalam keharmonisan. Ontologi dapat pula diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Obyek ilmu atau keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat dijangkau panca indera. Dengan demikian, obyek ilmu adalah pengalaman inderawi. Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan berdasarkan pada logika semata. Pengertian ini didukung pula oleh pernyataan Runes bahwaontology is the theory of being qua being, artinya ontologi adalah teori tentang wujud.
Obyek telaah ontologi adalah yang ada. Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa obyek formal dari ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Hal senada juga dilontarkan oleh Jujun Suriasumantri, bahwa ontologi membahas apa yang ingin diketahui atau dengan kata lain merupakan suatu pengkajian mengenai teori tentang sesuatu yang ada.
Beberapa Konsep Mengenai Ontologi Ilmu
Ontologi sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat benda bertugas untuk memberikan jawaban atas pertanyaan “apa sebenarnya realitas benda itu? Apakah sesuai dengan wujud penampakannya atau tidak?”.
Argumen ontologis ini pertama kali dilontarkan oleh Plato (428-348 SM) dengan teori ideanya. Menurut Plato, tiap-tiap yang ada di alam nyata ini mesti ada ideanya. Idea yang dimaksud oleh Plato adalah definisi atau konsep universal dari tiap sesuatu. Plato mencontohkan pada seekor kuda, bahwa kuda mempunyai idea atau konsep universal yang berlaku untuk tiap-tiap kuda yang ada di alam nyata ini, baik itu kuda yang berwarna hitam, putih ataupun belang, baik yang hidup ataupun sudah mati. Idea kuda itu adalah faham, gambaran atau konsep universal yang berlaku untuk seluruh kuda yang berada di benua manapun di dunia ini. Demikian pula manusia punya idea. Idea manusia menurut Plato adalah badan hidup yang kita kenal dan bisa berpikir. Dengan kata lain, idea manusia adalah ”binatang berpikir”. Konsep binatang berpikir ini bersifat universal, berlaku untuk seluruh manusia besar-kecil, tua-muda, lelaki-perempuan, manusia Eropa, Asia, India, China, dan sebagainya.
Tiap-tiap sesuatu di alam ini mempunyai idea. Idea inilah yang merupakan hakikat sesuatu dan menjadi dasar wujud sesuatu itu. Idea- idea itu berada dibalik yang nyata dan idea itulah yang abadi. Benda-benda yang kita lihat atau yang dapat ditangkap dengan panca indera senantiasa berubah. karena itu, ia bukanlah hakikat, tetapi hanya bayangan. Dengan kata lain, benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca indera ini hanyalah khayal dan illusi belaka.
Argumen ontologis kedua dimajukan oleh St. Augustine (354– 430 M). Menurut Augustine, manusia mengetahui dari pengalaman hidupnya bahwa dalam alam ini ada kebenaran. Namun, akal manusia terkadang merasa bahwa ia mengetahui apa yang benar, tetapi terkadang pula merasa ragu-ragu bahwa apa yang diketahuinya itu adalah suatu kebenaran. Menurutnya, akal manusia mengetahui bahwa di atasnya masih ada suatu kebenaran tetap (kebenaran yang tidak berubah-ubah), dan itulah yang menjadi sumber dan cahaya bagi akal dalam usahanya mengetahui apa yang benar. Kebenaran tetap dan kekal itulah kebenaran yang mutlak. Kebenaran mutlak inilah oleh Augustine disebut Tuhan. Ontologi ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya antropologi, sosiologi, ilmu kedokteran, ilmu budaya, fisika, ilmu teknik dan sebagainya). Ontologi sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat benda bertugas untuk memberikan jawaban atas pertanyaan “apa sebenarnya realitas benda itu? apakah sesuai dengan wujud penampakannya atau tidak?”. Dari teori hakikat (ontologi) ini kemudian muncullah beberapa aliran dalam persoalan keberadaan, yaitu:
1.    Keberadaan dipandang dari segi jumlah (kuantitas), menimbulkan beberapa akiran, yaitu :
-          Monisme, aliran yang menyatakan bahwa hanya satu keadaan fundamental. Kenyataan tersebut dapat berupa jiwa, materi, Tuhan atau substansi lainnya yang tidak dapat diketahui.
-          Dualisme (serba dua), aliran yang menganggap adanya dua substansi yang masing-masing berdiri sendiri. Misal dunia indera (dunia bayang-bayang) dan dunia intelek (dunia ide).
-          Pluralisme (serba banyak), aliran yang tidak mengakui adanya sesuatu substansi atau dua substansi melainkan banyak substansi, misalnya hakikat kenyataan terdiri dari empat unsur yaitu udara, api, air dan tanah.
2.    Keberadaan dipandang dari segi sifat, menimbulkan beberapa aliran, yaitu:
-          Spiritualisme, mengandung arti ajaran yang menyatakan bahwa kenyataan yang terdalam adalah roh yaitu roh yang mengisi dan mendasari seluruh alam.
-          Materialisme, adalah pandangan yang menyatakan bahwa tidak ada hal yang nyata kecuali materi.
3.    Keberadaan dipandang dari segi proses, kejadian, atau perubahan
-          Mekanisme (serba mesin), menyatakan bahwa semua gejala atau peristiwa dapat dijelaskan berdasarkan asas mekanik (mesin).
-          Teleologi (serba tujuan), berpendirian bahwa yang berlaku dalam kejadian alam bukanlah kaidah sebab akibat tetapi sejak semula memang ada sesuatu kemauan atau kekuatan yang mengarahkan alam ke suatu tujuan.
-          Vitalisme, memandang bahwa kehidupan tidak dapat sepenuhnya dijelaskan secara fisika, kimia, karena hakikatnya berbeda dengan yang tak hidup.
-          Organisisme (lawannya mekanisme dan vitalisme). Menurut organisisme, hidup adalah suatu struktur yang dinamik, suatu kebulatan yang memiliki bagian-bagian yang heterogen, akan tetapi yang utama adalah adanya  sistem yang teratur.
Ø Epistemologi
Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani kuno, dengan asal kata “episteme” yang berarti pengetahuan dan “logos” yang berarti teori’. Secara etimologi, epistemologi berarti teori pengetahuan. Epistemologi atau teori pengetahuan adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan ruang linkup pengetahuan, tentang asal, struktur, metode serta keabsahan pengetahuan. Mula-mula manusia percaya bahwa dengan kekuasaan pengenalannya ia dapat mencapai realitas sebagaimana adanya para filosof pra Sokrates, yaitu filosof pertama di alam tradisi Barat, tidak memberikan perhatian pada cabang filsafat ini sebab mereka memusatkan perhatian, terutama pada alam dan kemungkinan perubahan, sehingga mereka kerap dijuluki filosof alam.
Epistemologi mengkaji mengenai apa sesungguhnya ilmu, dari mana sumber ilmu, serta bagaimana proses terjadinya. Dengan menyederhanakan batasan tersebut, Brameld mendefinisikan epistomologi memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran kepada murid-muridnya”. Disamping itu banyak sumber yang mendefinisikan pengertian Epistomologi diantarannya:
-          Epistemologi adalah cabang ilmu filasafat yang menengarai masalah-masalah filosofikal yang mengitari teori ilmu pengetahuan.
-          Epistomologi adalah pengetahuan sistematis yang membahas tentang terjadinnya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan (Ilmiah).
-          Epistomologi adalah cabang atau bagian filsafat yang membicarakan tentang pengetahuan yaitu tentang terjadinnya pengetahuan dan kesahihan atau kebenaran pengetahuan.
-          Epistomologi adalah cara bagaimana mendapatkan pengetahuan, sumber- sumber pengetahuan, ruang lingkup pengetahuan.
Dibawah ini ada beberapa metode agar dapat memperoleh pengetahuan :
1.      Metode Empiris
Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa),dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana tersebut.
Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang factual.
2.      Metode Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
3.      Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman. Baran sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinyan sendiri merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaanya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon). Bagi Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan di dasarkan pada pengalaman-meskipun benar hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman.
4.      Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dari dalam dirinya sendiri pada saat iya menghayati sesuatu. Pengetahuan intuitif muncul secara tiba-tiba dalam kesadaran manusia. Mengenai proses terjadinya, manusia itu sendiri tidak menyadarinya. Pengetahuan ini sendiri hasil penghayatan pribadi sebagai hasil ekpresi keunikan dan individualitas seseorang.
Dalam pengertian secara umum, intuisi merupakan metode untuk memperoleh pengetahuan tidak berdasarkan pengalaman rasio, dan pengamatan indra. Dalam filsafat paham ini bertujuan agar manusia dapat memperoleh kebenaran yang hakiki. Menurut kaum intuisionisme, dengan intuisi kita akan mengetahui dan menyadari diri kita sendiri, mengetahui karakter perasaan orang lain dan motif orang lain.
5.      Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkanpun akan berbeda-beda seharusnya dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang lewat ini bisa diperoleh dengan cara seperti yang dilakukan Imam Al-Ghazali. intuisi dalam tasawuf disebut dengan ma'rifah yaitu penge­tahuan yang datang dari Tuhan melalui pencerahan dan penyiaran Al-Ghazali menerangkan bahwa pengetahuan intuisi atau malimpah yang disinarkan oleh Allah secara langsung merupakan pengetahuan yang paling benar. Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini hanya bersifat individual dan tidak bisa dipergunakan untuk mencari keuntungan seperti ilmu pengetahuan yang dewasa ini bila dikomersilkan.
6.      Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun Plato mengartikannya diskusi logika. Kini dialekta berarti tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam metode peraturan, juga analisis sistematika tentang ide mencapai apa yang terkandung dalam pandangannya.
Dalam kehidupan sehari-hari dialektika berarti kecakapan untuk melakukan perdebatan. Dalam teori pengetahuan ini merupakan bentuk pemikiran yang tidak terasa dan satu pikiran tetapi pemikiran itu seperti dalam percakapan. Berdebat  paling kurang dua pendapat. Hegel menggunakan metode dialektis untuk menjelaskan filsafatnya, lebih luas dari itu. Menurut Hegel dalam realitas ini berlangsung dialektika.
Ada juga beberapa teori yang dapat dijadikan acuan apakah pengetahuan itu benar atau salah, yaitu :
*Teori Korespodensi
Menurut teori ini kebenaran merupakan persesuaian antara fakta dan situasi nyata. Kebenaran merupakan persesuaian antara pernyataan dan pemikiran sengan situasi lingkungannya.
*Teori koherensi
Menurut teori ini kebenaran bukan persesuaian antara pemikiran dan kenyataan melainkan persesuaian secara harmonis antara pendapat/pikiran kita dengan pengetahuan yang telah kita miliki.


Ø Aksiologi (manfaat)
Secara etimologis, istilah eksiologi berasal dari bahasa Yunani Kuno, terdiri dari kata “aksios” yang berarti nilai dan “logos” yang berarti teori. Jadi, aksiologi merupakan cabang dari filsafat yang mempelajari nilai. Aksiologi mempelajari tentang hakikat nilai. Dalam hal ini aksiologi berkaitan dengan           kebaikan dan keindahan tentang nilai dan penilaian. Hal ini merupakan bidang kajian tentang dari mana sumber nilai, akar dan norma serta nilai subsransif dan standar nilai. Etika berkaitan dengan kualitas, moralitas pribadi dan perilaku sosial. Drmikian pula etika merupakan penentuan perilaku yang baik, masyarakat yang baik dan kehidupan yang baik.
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri.
Dasar aksiologis ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari pengetahuan yang didapatkanya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam mengendalikan kekuatan-kekuatan alam. Dangan mempelajari atom kita dapat memanfaatkan untuk sumber energi bagi keselamatan manusa, tetapi hal ini juga dapat menimbulkan malapetaka bagi manusia. Penciptaan bom atom akan meningkatkan kualitas persenjataan dalam perang, sehingga jika senjata itu dipergunakan akan mengancam keselamatan umat manusia.
Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Sejarah kemanusiaan di hiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban telah menyaksikan sokrates di paksa meminum racun dan John Huss dibakar. Dan sejarah tidak berhenti di sini: kemanusiaan tak pernah urung di halangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dapat melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti dengan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran.

2.4    Implementasi Filsafat Pancasila dalam Kewarganegaraan
1.      Implementasi dalam Partai Politik
Partai politik di Indonesia selain sebagai pilar demokrasi yang memiliki peran sebagai sarana artikulasi, komunikasi dan sosialisasi aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, sebagai arena pendidikan politik rakyat dan pembentuk kader bangsa serta sebagai sarana penyelesaian konflik, kegiatannya harus selalu dalam kerangka acuan (frame of reference)Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian partai politik di Indonesia harus bertujuan sesuai dengan cita-cita dan tujuan nasional yang diamanatkan Pembukaan UUD 1945. Pedoman yang perlu dijadikan pegangan dalam kehidupan partai politik adalah :
a). Mengaktualisasikan kebersamaan dalam kemajemukan untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional.
b). Mengaktualisasikan budaya demokrasi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c). Penyampaian aspirasi rakyat dan segenap perilaku partai politik harus menjamin tegaknya keselarasan dan kerukunan serta budi luhur. Penyampaian aspirasi rakyat melalui partai politik harus sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Segala aspirasi hendaknya mengarah pada harmoni atau keselarasan, menghindari polarisasi kawan dan lawan serta mengembangkan semangat inklusivistik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penyampaian pendapat bersendi pada akhlak mulia, budi luhur dan beradab. Pernyataan dan ungkapan yang berisi hujatan, caci-maki, tidak senonoh dan mendiskriditkan orang lain agar dihindari. Aspirasi harus mengarah pada perkuatan persatuan dan kesatuan bangsa. Dihindari konflik yang mengarah perpecahan (disintegrasi), separatisme dan sikap radikalistik.
d). Pengambilan keputusan harus sejalan dengan konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dalam proses pengambilan keputusan bersama tidak boleh bertentangan dengan prinsip Pancasila : Ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keputusan bersama  mengikat dan mengandung sanksi; penyimpangan karena penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang harus dihindari.
e). Mengaktualisasikan supremasi hukum dan hak asasi manusia berdasar Pancasila.
f).  Segenap perilaku partai politik selalu bersendi pada keputusan bersama yang mengikat dan mengandung  sanksi terhadap penyimpangan penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang.
g). Pengawasan bermaksud memberikan koreksi dan peringatan agar pelaksana bersikap jujur, adil, transparan dan untuk kepentingan rakyat.
h). Program partai politik harus mengarah pada kokohnya Pancasila sebagai dasar negara, utuh dan kuatnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berpemerintahan presidensial dan bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika.

2.      Implementasi dalam Kehidupan Demokrasi
Konsep, prinsip dan nilai Pancasila harus diimplementasikan dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Hal tersebut harus nampak antara lain dalam penyampaian pendapat, pembuatan keputusan bersama dan dalam mengadakan pengawasan pelaksanaan keputusan bersama.
a). Penyampaian pendapat
Dalam penyampaian pendapat ada ketentuan yang bersumber dari sila-sila Pancasila dan tidak boleh dilanggar. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan, sebagai khalifah Tuhan di bumi wajib menjaga kelestarian segala ciptaan-Nya. Segala kegiatan manusia hendaknya mengarah pada terwujudnya harmoni atau keselarasan, dan oleh karena itu menghindari terjadinya polarisasi yang tidak sesuai dengan Pancasila.
Dalam penyampaian pendapat selalu bersendi pada akhlak mulia, budi luhur, dan beradab serta menghormati harkat dan martabat sesamanya, sehingga dapat diwujudkan suasana kebersamaan yang menjamin persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam penyampaian pendapat tidak mengutamakan kepentingan pribadi atau golongan melainkan mengutamakan terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sehingga tercegah terjadinya perpecahan, separatisme, dan sikap radikalistik.
b). Pembuatan keputusan bersama
Dalam pembuatan keputusan bersama harus berdasar pada konsep, prinsip dan nilai Pancasila, dilandasi oleh sila keempat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Suara terbanyak bukan merupakan satu-satunya kriteria dalam pembuatan keputusan bersama.
Keputusan bersama bukan keputusan pribadi-pribadi, tetapi merupakan kontrak sosial yang harus dipatuhi oleh semua pihak, termasuk pihak yang usulnya tidak disetujui. Keputusan bersama mengikat dan mengandung sanksi. Sikap mau mengakui  pendapat yang diputuskan bersama harus dikembangkan. Dengan demikian Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan adalah suatu demokrasi yang bersifat normatif, etis dan teleologis.
c). Pengawasan pelaksanaan keputusan bersama
Dalam pengawasan pelaksanaan keputusan bersama pada dasarnya bukan untuk mencari kesalahan, melainkan untuk memberikan peringatan dini kepada pelaksana agar dalam melaksanakan tugas bersikap jujur, adil, transparan dan mengutamakan kepentingan rakyat.
Kegiatan rakyat yang menyampaikan pendapat dan pembuat keputusan bersama, para pelaksana kesepakatan bersama dan pengawas pelaksanaan keputusan bersama harus bersinergi sesuai dengan fungsi masing-masing.

3.      Implementasi dalam Hak Asasi Manusia
a). Manusia adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa, berperan sebagai pengelola dan pemelihara alam secara seimbang dan serasi dalam keimanan dan ketakwaan. Dalam mengelola alam, manusia berkewajiban dan bertanggung jawab  menjamin kelestarian eksistensi, harkat dan martabat, kemuliaan, serta menjaga keharmonisannya.
b). Pancasila memandang bahwa, hak asasi manusia dan kewajiban asasi manusia bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, nilai budaya bangsa serta pengalaman kehidupan politik nasional.
c). Hak asasi manusia meliputi hak hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan dan hak kesejahteraan, yang tidak boleh dirampas atau diabaikan oleh siapa pun.
d). Perumusan hak asasi manusia berdasarkan Pancasila dilandasi oleh pemahaman bahwa kehidupan manusia tidak terlepas dari hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan dengan lingkungannya.
e). Bangsa Indonesia menyadari, mengakui, menghormati dan menjamin hak asasi orang lain sebagai suatu kewajiban.  Hak dan kewajiban asasi terpadu dan melekat pada diri manusia, sebagai pribadi, anggota keluarga, anggota masyarakat, anggota suatu bangsa dan anggota masyarakat bangsa-bangsa.
f). Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai hak asasi yang harus dihormati dan ditaati oleh setiap orang/warga negara.
g). Bangsa dan Negara Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mempunyai tanggung jawab dan kewajiban menghormati ketentuan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948 dengan semua instrumen yang terkait, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila.

2.5    Permasalahan dan Solusi
Faktor-Faktor Problematika Kebangsaan
Problematika menurut Martin Heidegger adalah ketidakcocokan antara das sein (apa yang terjadi) dengan das sollen (apa yang seharusnya terjadi).  Analisis penulis, berikut adalah sebagian besar faktor yang menyebabkan terjadinya problematika kebangsaan. Diantaranya;
1)      Intoleransi karena Kedangkalan Spritualitas
Laporan The Wahid Institute menyebutkan praktek intoleransi sepanjang tahun 2013 yang dialami kelompok agama minoritas seperti Ahmadiyah, Syiah, Protestan, Katolik, dan mereka yang dituduh sesat sebanyak 245 kasus. Hal ini diperparah oleh gagalnya Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama dibahas dalam program legislasi nasional di DPR 2010-2014.
2)      Defisit Moral
Setelah maraknya kekerasan terhadap ideologi karena berbeda keyakinan hingga berdampak pada intoleransi, problematika bangsa kemudian ditambah dengan kekerasan secara fisik. Kenyataan itu tercermin dari maraknya pelecehan seksual, SARA, kejahatan geng motor hingga pembunuhaan akhir-akhir ini.
3)      Disintegrasi Bangsa
Disintegrasi bangsa adalah upaya untuk memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang telah susah payah diperjuangkan oleh para pendiri bangsa berpuluh tahun lamanya. Disintegrasi tersebut kemudian melahirkan gerakan separatis berupa pemberontakan untuk berpisah dari NKRI seperti yang pernah dilakukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan sampai sekarang diupayakan oleh Papua yang menginginkan lepas atau katanya merdeka dari Indonesia.
4)      Krisis Kepemimpinan (Politik dan Hukum)
Reformasi yang diagung-agungkan sebagai simbol demokrasi Indonesia demi kepemimpinan yang lebih demoktatis dan menjauh dari tirani kekuasaan orde baru dan lama ternyata masih berpunggungan antara harapan dan kenyataannya. Faktanya, sejak era reformasi angka golput justru makin bertambah. Pemilu 1999 angka golput 10,21%, Pemilu 2004 naik menjadi 23,34%, dan Pemilu 2009 naik lagi menjadi 29,01%. Bandingkan dengan angka golput pada pemilu era Orde Lama dan Orde Baru (1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997) yang tak pernah lebih dari 10%.
Untuk Pemilu Presiden dan Pemilu Kepala Daerah, angka golput juga tinggi. Pilpres 2004 angka golput 21,5%, Pilpres 2009 naik menjadi 23,3% (angka partisipasi pemilih Pilpres 2009 sebesar 72,09%). Angka golput pemilukada rata-rata 27,9%. Namun, hasil pemilu 2014 yang baru dirilis KPU baru-baru ini menunjukkan tren positif dengan meningkatnya partisipasi pemilih menjadi 75,11 %. Itu baru kepemimpinan politik, belum termasuk kepemimpinan hukum yang masih menyisakan problematika tersendiri yang tak kalah mencemaskannya. Lihat saja kasus suap hakim, polisi dan jaksa yang berujung pada tertangkap tangannya suap hakim Mahkamah Konsitusi; Akil Muchtar.
5)      Korupsi dan Pemiskinan
Berbicara mengenai problem bangsa, akal kita seakan-akan otomatis berpindah pada apa yang disebut sebagai korupsi. Penjarahan uang rakyat oleh pejabat pemerintah. Mulai dari menteri, kepala daerah hingga bank, semuanya tergiur dengan korupsi. Setali tiga uang, korupsi kemudian melahirkan anak kandung yang bernama pemiskinan. Dikatakan pemiskinan, bukan kemiskinan karena jumlahnya yang banyak dan telah menjadi masalah bangsa turun-temurun dan belum menemui jalan keluarnya. Padahal, jika dikelola dengan baik, sumber daya alam bangsa kita yang kaya ini tentulah cukup untuk menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia.

Mentalitas Pancasila sebagai Solusi Problematika Bangsa
Dalam buku Yudi Latif; Negara Paripurna, disebutkan bahwa Pancasila merupakan proses penggalian secara mendalam dari apa yang ada pada bangsa Indonesia sendiri. Bukan ikut-ikutan bangsa lain. Maka sekarang, kita dengan bangga menyebut Indonesia sebagai bangsa yang mandiri dan berdiri pada kaki sendiri. Bukan bangsa fotokopi.  Ideologi murni Indonesia. Bukan ideologi kapitalis kanan, komunis kiri ataupun Islam. Pancasila merupakan lima Dasar Negara. Pertanyaan kemudian, sejauh mana mentalitas pancasila dapat menjawab problematika kebangsaan?
Intoleransi disebabkan oleh kedangkalan spritualitas. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa meniscayakan kita sebagai bangsa Indonesia untuk menghargai keyakinan orang lain selama tidak mengganggu keyakinan orang atau kelompok lain. Dengan ego Tauhid, kita memahami bahwa kita semua adalah makhluk dan berasal dari Diri Yang Satu; Tuhan. Sementara, defisit moral terjadi karena kita lebih sering mendahulukan kepentingan diri di atas kepentingan sosial. Kita tidak memanusiakan manusia. Kita tidak menjalankan apa yang diamanatkan oleh sila kedua; kemanusiaan yang adil dan beradab (moral/etika).
Sementara disintegrasi bangsa yang memicu perpecahan NKRI berawal dari paham sempit yang merasa suku atau daerah lebih unggul ketimbang suku, daerah atau bahkan bangsa Indonesia. Seandainya kita memahami sejarah, tentulah kita sadar bahwa kita lahir sebagai bangsa Indonesia atas perjuangan bersama melawan penjajahan yang kemudian menginspirasi para pejuang bangsa untuk mengikrarkan sila ketiga; Persatuan Indonesia. Bersatu untuk melawan pengaruh buruk dari pihak luar (Nasionalisme Negatif) dan bersatu untuk menawarkan yang baik dari dalam (Nasionalisme Positif).
Adapun krisis kepemimpinan baik dalam  segi hukum maupun segi politik tentukah menciderai cita-cita luhur demokrasi. Hal ini terbukti dari kasus suap hakim dan politik uang. Sila keempat sebenarnya telah menjawab solusi dari masalah dari ini berpuluh-puluh tahun lalu dengan mengutamakan musyawarah yang dipimpin oleh ia yang hikmat lagi bijaksana. Namun, kesejahteraan politik takkan bisa tercapai jika masih ada perut yang kosong. Dengan kata lain, kesejahteraan politik harus selalu berbarengan dengan  kesejahteraan ekonomi. Penerapan keadilan secara distributif (proporsional) dan komutatif (sama rata) kepada seluruh rakyat Indonesia merupakan solusi kelima yang ditawarkan oleh Pancasila.

Kesadaran Berpancasila adalah Kunci Kesadaran Bernegara dan Berwilayah
Tanah air mental atau Pancasila adalah kunci untuk meransang kesadaran bernegara dan berwilayah. Wilayah geografis kita tak ada artinya jika tidak diatur oleh para pejabat Negara. Sementara pejabat Negara tidak dapat dikatakan Negarawan jika tidak bermental pancasila. Mental adalah jiwa atau watak dari suatu entitas. Maka, watak kita sebagai bangsa, tercermin dari sejauh mana kita menerapkan nilai-nilai yang ada Pancasila. Baik dari kelima silanya maupun 45 butir Pancasila sebagai pedoman praktis dalam berbangsa. Inti dari Pancasila adalah gotong-royong atau kebersamaan. Menolak mentah-mentah paham individualis. Jadi, untuk dapat dikatakan berbangsa atau lebih luhurnya berindonesia, milikilah jiwa yang gotong-royong, jiwa kebersamaan.

2.6    Perkembangan Filsafat Pancasila dalam Pendidikan Kewarganegaraan
Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat sistematis, fundamental dan menyeluruh. Untuk itu sila-sila Pancasila merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat bulat dan utuh, hierarkhis dan sistematis. Dalam pengertian inilah maka sila-sila Pancasila merupakan suatu sistem filsafat. Konsekuensinya kelima sila bukan terpisah-pisah dan memiliki makna sendiri-sendiri, melainkan memiliki esensi serta makna yang utuh.
Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia mengandung makna bahwa setiap aspek kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan dan kenegaraan harus berdasarkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Pemikiran filsafat kenegaraan bertolak dari pandangan bahwa negara adalah merupakan suatu persekutuan hidup manusia atau organisasi kemasyarakatan, yang merupakan masyarakat hukum (legal society).
Adapun negara yang didirikan oleh manusia itu berdasarkan pada kodrat bahwa manusia sebagai warga negara sebagai persekutuan hidup adalah berkedudukan kodrat manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa (hakikat sila pertama). Negara yang merupakan persekutuan hidup manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, pada hakikatnya bertujuan untuik mewujudkan harkat dan martabat manusia sebagai mahluk yang berbudaya atau mahluk yang beradab (hakikat sila kedua). Untuk mewujudkan suatu negara sebagai suatu organisasi hidup manusia harus membentuk suatu ikatan sebagai suatu bangsa (hakikat sila ketiga). Terwujudnya persatuan dan kesatuan akan melahirkan rakyat sebagai suatu bangsa yang hidup dalam  suatu wilayah negara tertentu. Konsekuensinya dalam hidup kenegaraan itu haruslah mendasarkan pada nilai bahwa rakyat merupakan asal mula kekuasaan negara. Maka negara harus bersifat demokratis, hak serta kekuasaan rakyat harus dijamin, baik sebagai individu maupun secara bersama (hakikat sila keempat). Untuk mewujudkan tujuan negara sebagai tujuan bersama, maka dalam hidup kenegaraan harus mewujjudkan jaminan perlindungan bagi seluruh warga, sehingga untuk mewujudkan tujuan seluruh warganya harus dijamin berdasarkan suatu prinsip keadilan yang timbul dalam kehidupan bersama/kehidupan (hakikat sila kelima).
Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat sistematis fundamental, dan menyeluruh. Untuk itu, sila-sila Pancasila merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat bulat dan utuh, hierarkis, dan sistematis. Dalam pengert ian inilah, sila-sila Pancasila merupakan suatu sistem filsafat. Konsekuensinya kelima sila tidak terpisah-pisah dan memiliki makna sendiri-sendiri, tetapi memiliki esensi serta makna yang utuh.
Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia mengandung makna bahwa setiap aspek kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan, dan kenegaraan harus berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Pemikiran filsafat kenegaraan bertolak dari pandangan bahwa negara adalah merupakan suatu persekutuan hidup manusia atau organisasi kemasyarakatan, yang merupakan masyarakat hukum (legal society}.
Adapun negara yang didirikan oleh manusia itu berdasarkan pada kodrat bahwa manusia sebagai warga negara, yaitu sebagai bagian persekutuan hidup yang mendudukkan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa (hakikat sila pertama). Negara yang merupakan persekutuan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, pada hakikatnya bertujuan mewujudkan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang berbudaya atau makhluk yang beradab (hakikat sila kedua). Untuk mewujudkan suatu negara sebagai suatu organisasi hidup, manusia harus membentuk suatu ikatan sebagai suatu bangsa (hakikat sila ketiga). Terwujudnya persatuan dan kesatuan akan melahirkan rakyat sebagai suatu bangsa yang hidup dalam suatu wilayah negara tertentu.
Konsekuensinya, hidup kenegaraan itu haruslah didasarkan pada nilai bahwa rakyat merupakan asal mula kekuasaan negara. Maka itu, negara harus bersifat demokratis, hak serta kekuasaan rakyat harus dijamin, baik sebagai individu maupun secara bersama (hakikat sila keempat). Untuk mewujudkan tujuan negara sebagai tujuan bersama, dalam hidup kenegaraan harus diwujudkan jaminan perlindungan bagi seluruh warga. Dengan demikian, untuk mewujudkan tujuan, seluruh warga negara harus dijamin berdasarkan suatu prinsip keadilan yang timbul dalam kehidupan bersama (hakikat sila kelima).




BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
Filsafat Pancasila secara umum adalah hasil berpikir/pemikiran yang sedalam-dalamnya dari bangsa Indonesia yang dianggap, dipercaya dan diyakini sebagai sesuatu (kenyataan, norma-norma, nilai-nilai) yang paling benar, paling adil, paling bijaksana, paling baik dan paling sesuai bagi bangsa Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila. Berfikir filsafat haruslah secara radikal, universal, konseptual, koheren, sistematik, komprehensif, bebas, dan bertanggungjawab. Dalam berfilsafat hendaknya sesuai dengan tahapan yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Implementasi pancasila dalam pendidikan kewarganegaraan diantaranya adalah implementasi dalam partai polotik, dalam kehidupan demokrasi, dan dalam HAM. Dalam penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pancasila, maka solusinya harus diselesaikan dengan berdasarkan pada prinsip Pancasila.

3.2    Saran
Demikian makalah yang kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila ada saran dan kritik yang ingin di sampaikan, silahkan sampaikan kepada kami. Apabila terdapat kesalahan mohon dapat mema'afkan dan memakluminya, karena kami adalah hamba Allah yang tak luput dari salah khilaf, Alfa dan lupa.


DAFTAR PUSTAKA


 SEMOGA BERMANFAAT :)
SILAHKAN COPY DAN SERTAKAN LINK SUMBER NYA YA ;)
JANGAN JADI PEMUDA PENJIPLAK , JADILAH ANAK BANGSA YANG BANGGA DENGAN KARYA SENDIRI DAN MENGHARGAI KARYA ORANG LAIN :) ;)
DON'T BE SILENT READ !!!!!!





No comments:

Post a Comment