|
Disusun oleh:
§ Delvi Suci
§ Firda Fairisa Azhar
§ Hasna Nabilah Herwina
§ Siti Kurniasih
Akuntansi C – Semester 2
STIE Sebelas April Sumedang
2014/2015
|
|
|
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT
atas limpahan dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
Filsafat Pancasila ini dengan baik. Makalah ini disusun sebagai salah satu
tugas mata kuliah, pendidikan kewarganegaraan. Makalah ini menjelaskan lebih
mendalam mengenai ideologi Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia dengan
bahasa yang lebih mudah untuk di cerna dan di pahami.
Makalah ini ditulis dari hasil
penyusunan data-data sekunder yang penulis peroleh dari buku panduan yang
berkaitan dengan Pancasila, serta infomasi dari media massa yang berhubungan
dengan filsafat Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia.
Penulis berharap, dengan membaca
makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, dalam hal ini dapat menambah
wawasan kita mengenai Pancasila yang ditinjau dari aspek filsafat atau
falsafah, khususnya bagi penulis. Akhir kata, mungkin dalam penulisan makalah
ini masih banyak kekurangan. Kritik dan saran tentunya sangat kami harapkan
demi perbaikan dan kesempurnaan. Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini, sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Sumedang,
Februari 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Sebagai dasar dan pandangan hidup bangsa
Indonesia, Pancasila kembali diuji ketahanannya dalam era reformasi sekarang.
Merekahnya matahari bulan Juni 1945, 67 tahun yang lalu disambut dengan
lahirnya sebuah peristiwa yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, yaitu
lahirnya Pancasila.
Sebagai filsafat negara, tentu Pancasila
ada yang merumuskannya. Pancasila memang merupakan karunia terbesar dari Allah
SWT dan ternyata merupakan pedoman bagi segenap bangsa Indonesia di masa-masa
selanjutnya, baik sebagai pedoman dalam memperjuangkan kemerdekaan, juga
sebagai alat pemersatu dalam hidup kerukunan berbangsa, serta sebagai pandangan
hidup untuk kehidupan manusia Indonesia sehari-hari, serta menjadi dasar
sekaligus filsafat negara Republik Indonesia.
Pancasila telah ada dalam segala bentuk
kehidupan rakyat Indonesia. Pancasila lahir 1 Juni 1945, ditetapkan pada 18
Agustus 1945 bersama-sama dengan UUD 1945. Bunyi dan ucapan Pancasila yang
benar berdasarkan Inpres Nomor 12 tahun 1968 adalah satu, Ketuhanan Yang Maha
Esa. Dua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Tiga, Persatuan Indonesia. Empat,
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Dan kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa
di antara tokoh perumus Pancasila itu ialah, Mr Mohammad Yamin, Prof Mr
Soepomo, dan Ir Soekarno. Dapat dikemukakan mengapa Pancasila itu sakti dan
selalu dapat bertahan dari guncangan krisis politik di negara ini, yaitu
pertama ialah karena secara intrinsik dalam Pancasila itu mengandung toleransi,
dan siapa yang menantang Pancasila berarti dia menentang toleransi.
Kedua, Pancasila merupakan wadah yang
cukup fleksibel, yang dapat mencakup faham-faham positif yang dianut oleh
bangsa Indonesia, dan faham lain yang positif tersebut mempunyai keleluasaan
yang cukup untuk memperkembangkan diri. Yang ketiga, karena sila-sila dari
Pancasila itu terdiri dari nilai-nilai dan norma-norma yang positif sesuai
dengan pandangan hidup bangsa Indonesia, selain itu, ideologi kediktatoran juga
ditolak, karena bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang berprikemanusiaan
dan berusaha untuk berbudi luhur.
Dengan demikian bahwa filsafat Pancasila
sebagai dasar filsafat negara Indonesia yang harus diketahui oleh seluruh warga
negara Indonesia agar menghormati, menghargai, menjaga dan menjalankan apa-apa
yang telah dilakukan oleh para pahlawan khususnya pahlawan proklamasi yang
telah berjuang untuk kemerdekaan negara Indonesia ini. Sehingga baik golongan
muda maupun tua tetap meyakini Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tanpa
adanya keraguan guna memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara
Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Dengan
memperhatikan ulasan singkat latar belakang di atas, maka dapat disusunlah
rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apakah yang
dimaksud dengan filsafat pancasila?
2.
Bagaimana gaya dan
model berpikir filsafat?
3.
Apa saja tahapan
dalam berfilsafat?
4.
Bagaimana
implementasi filsafat pancasila dalam kewarganegaraan?
5.
Bagaimana
permasalahan dan solusi dalam filsafat pancasila?
6.
Bagaimana
perkembangan filsafat pancasila dalam Pendidikan Kewarganegaraan?
1.3 Tujuan
1. Memenuhi salah satu tugas mata kuliah ‘Pendidikan
Kewarganegaraan’
2. Mengetahui pengertian dan esensi filsafat pancasila
3. Mengetahui macam-macam gaya dan model berpikir filsafat
4. Mengetahui macam-macam tahapan dalam berfilsafat
5. Mengetahui implementasi filsafat pancasila dalam
kewrganegaraan
6. Mengetahui masalah yang ditimbulkan dan solusinya dalam
filsafat pancasila
7. Mengetahui perkembangan filsafat pancasila dalam
Pendidikan Kewarganegaraan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
dan Esensi Filsafat Pancasila
Pengertian
filsafat Pancasila secara umum adalah hasil berpikir/pemikiran yang
sedalam-dalamnya dari bangsa Indonesia yang dianggap, dipercaya dan diyakini
sebagai sesuatu (kenyataan, norma-norma, nilai-nilai) yang paling benar, paling
adil, paling bijaksana, paling baik dan paling sesuai bagi bangsa Indonesia
yang berdasarkan pada Pancasila.
Kalau
dibedakan anatara filsafat yang religius dan non religius, maka filsafat
Pancasila tergolong filsafat yang religius.Ini berarti bahwa filsafat
Pancasila dalam hal kebijaksanaan dan kebenaran mengenal adanya kebenaran
mutlak yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa (kebenaran religius) dan sekaligus
mengakui keterbatasan kemampuan manusia, termasuk kemampuan berpikirnya.
Dan
kalau dibedakan filsafat dalam arti teoritis dan filsafat dalam arti praktis,
filsafat Pancasila digolongkan dalam arti praktis. Ini berarti bahwa filsafat
Pancasila di dalam mengadakan pemikiran yang sedalam-dalamnya, tidak hanya
bertujuan mencari kebenaran dan kebijaksanaan, tidak sekedar untuk memenuhi
hasrat ingin tahu dari manusia yang tidak habis-habisnya, tetapi juga hasil
pemikiran yang berwujud filsafat Pancasila tersebut dipergunakan sebagai
pedoman hidup sehari-hari (pandangan hidup, filsafat hidup, way of the life,
Weltanschaung dan sebagainya); agar hidupnya dapat mencapai kebahagiaan lahir
dan batin, baik di dunia maupun di akhirat.
Pancasila
adalah dasar Filsafat Negara Republik Indonesia yang secara resmi isahkan oleh
PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 dan tercantum dalam UUD 1945, diundangkan
dalam Berita Negara Republik Indonesia bersama dengan UUD 1945. Pancasila
dari bahasa Sanskerta yaitu “panca”(lima) dan “syila” (dasar). Pertama kali
digunakan sebagai nama 5 Dasar Negara pada 1 juni 1945 oleh Ir.Soekarno.
Bangsa
Indonesia sudah ada sejak zaman Sriwijaya dan zaman Majapahit dalam satu
kesatuan. Namun, dengan datangnya bangsa-bangsa barat persatuan dan kesatuan itu dipecah oleh
mereka dalam rangka menguasai daerah Indonesia yang kaya raya ini. pada awalnya
perjuangan dilakukan secara perang, karena dengan cara tersebut gagal maka
bangsa Indonesia menggunakan cara politik. Di awali dengan suatu badan yang
diberi nama BPUPKI. Badan ini diresmikan tanggal 28 Mei 1945 oleh pemerintah
Jepang.
Tanggal
29 Mei 1945 Mr. Muhammad Yamin mengutarakan prinsip dasar Negara. Pada tanggal
1 Juni 1945, Ir. Soekarno berpidato membahas dasar negara. Dan pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan
undang-undang dasar yang diberi nama Undang-Undang Dasar 1945. Sekaligus dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar sila-sila Pancasila ditetapkan. Jadi, Pancasila
sebagai filsafat bangsa Indonesia ditetapkan bersamaan dengan ditetapkannya
Undang-Undang Dasar 1945, dan menjadi ideologi bangsa Indonesia. Arti Pancasila
sebagai dasar filsafat negara adalah sama dan mutlak bagi seluruh tumpah darah
Indonesia.
2.2
Gaya
dan Model Berpikir Filsafat
1.
Berfikir secara
radikal. Artinya berfikir sampai ke akar-akarnya. Radikal berasal dari kata
Yunani radix yang berarti akar. Maksud dari berfikir sampai ke akar-akarnya
adalah berfikir sampai pada hakikat, esensi
atau sampai pada substansi yang dipikirkan. Manusia yang berfilsafat dengan
akalnya berusaha untuk dapat menangkap pengetahuan hakiki, yaitu pengetahuan
yang mendasari segala pengetahuan indrawi, bukan sekedar mengetahui mengapa
sesuatu menjadi demikian, melainkan apa sebenarnya sesuatu itu, apa maknanya.
2.
Berfikir secara
universal atau umum. Berfikir secara umum adalah berfikir tentang hal-hal serta
suatu proses yang bersifat umum. Jalan yang dituju oleh seorang filsuf adalah
keumuman yang diperoleh dari hal-hal yang bersifat khusus yang ada dalam
kenyataan. Yaitu berpikir kefilsafatan
sebagaimana pengalaman umumnya. Misalnya melakukan penalaran dengan
menggunakan rasio atau empirisnya, bukan menggunakan intuisinya. Sebab, orang
yang dapat memperoleh kebenaran dengan menggunakan intuisinya tidaklah umum di
dunia ini. Hanya orang tertentu saja.
3.
Berfikir
secara konseptual, yaitu dapat berpikir melampaui batas pengalaman sehari-hari
manusia, sehingga menghasilkan pemikiran baru yang terkonsep.
4.
Berfikir
secara koheren dan konsisten. Artinya, berfikir sesuai dengan kaidah-kaidah
berfikir dan tidak mengandung kontradiksi atau dapat pula diartikan dengan
berfikir secara runtut. Yaitu berpikir kefilsafatan harus sesuai dengan kaedah
berpikir (logis) pada umumnya dan adanya keterkaitan antara satu konsep dengan konsep
lainnya.
5.
Berfikir
secara sistematik. Dalam mengemukakan jawaban terhadap suatu masalah, para
filsuf memakai pendapat-pendapat sebagai wujud dari proses befilsafat.
Pendapat-pendapat itu harus saling berhubungan secara teratur dan terkandung
maksud dan tujuan tertentu. Yaitu dalam berpikir kefilsafatan antara satu konsep dengan
konsep yang lain memiliki keterkaitan berdasarkan azas keteraturan untuk
mengarah suatu tujuan tertentu.
6.
Berfikir
secara komprehensif (menyeluruh). Berfikir secara filsafat berusaha untuk
menjelaskan alam semesta secara keseluruhan. Yaitu dalam berpikir filsafat, hal, bagian, atau
detail-detail yang dibicarakan harus mencakup secara menyeluruh sehingga tidak
ada lagi bagian-bagian yang tersisa ataupun yang berada diluarnya.
7.
Berfikir
secara bebas. Bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural ataupun
religius. Berfikir dengan bebas itu bukan berarti sembarangan, sesuka hati,
atau anarkhi, sebaliknya bahwa berfikir bebas adalah berfikir secara terikat .
akan tetapi ikatan itu berasal dari dalam, dari kaidah-kaidah, dari disiplin
fikiran itu sendiri. Dengan demikian pikiran dari luar sangat bebas,
namun dari dalam sangatlah terikat. Yaitu dalam berpikir kefilsafatan tidak ditentukan, dipengaruhi, atau intervensi oleh
pengalaman sejarah ataupun pemikiran-pemikiran yang sebelumnya, nilai-nilai
kehidupan social budaya, adat istiadat, maupun religious.
8.
Berfikir
atau pemikiran yang bertanggungjawab. Pertanggungjawaban yang pertama adalah
terhadap hati nuraninya sendiri dan kehidupan sosial.
Seorang filsuf seolah-olah mendapat panggilan untuk membiarkan pikirannya
menjelajahi kenyataan. Namun, fase berikutnya adalah bagaimana ia merumuskan
pikiran-pikirannya itu agar dapat dikomunikasikan pada orang lain serta
dipertanggungjawabkan.
2.3
Tahapan
Berfilsafat
Ø
Ontologi
Ontologi merupakan salah satu kajian
kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas
keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan
yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada
masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan.
Thales terkenal sebagai filosof yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air
merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun
yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu
berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap
ada berdiri sendiri).
Ontologi terdiri dari dua suku kata,
yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang
berwujud dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi adalah bidang pokok filsafat
yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada menurut tata
hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada manusia, ada alam,
dan ada kuasa prima dalam suatu hubungan yang menyeluruh, teratur, dan tertib
dalam keharmonisan. Ontologi dapat pula diartikan sebagai ilmu atau
teori tentang wujud hakikat yang ada. Obyek ilmu atau keilmuan itu adalah dunia
empirik, dunia yang dapat dijangkau panca indera. Dengan demikian, obyek ilmu
adalah pengalaman inderawi. Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang
mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan berdasarkan
pada logika semata. Pengertian ini didukung pula oleh pernyataan Runes bahwa“ontology is the theory of being qua
being ”, artinya ontologi adalah
teori tentang wujud.
Obyek telaah ontologi adalah yang ada. Ontologi membahas
tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi
berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan. Berdasarkan hal
tersebut, maka dapat dikatakan bahwa obyek formal dari ontologi adalah hakikat
seluruh realitas. Hal senada juga dilontarkan oleh Jujun Suriasumantri, bahwa
ontologi membahas apa yang ingin diketahui atau dengan kata lain merupakan
suatu pengkajian mengenai teori tentang sesuatu yang ada.
Beberapa Konsep Mengenai Ontologi Ilmu
Ontologi sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang
hakikat benda bertugas untuk memberikan jawaban atas pertanyaan “apa sebenarnya
realitas benda itu? Apakah sesuai dengan wujud penampakannya atau tidak?”.
Argumen ontologis ini pertama kali dilontarkan oleh Plato
(428-348 SM) dengan teori ideanya. Menurut Plato, tiap-tiap yang ada di alam
nyata ini mesti ada ideanya. Idea yang dimaksud oleh Plato adalah definisi atau
konsep universal dari tiap sesuatu. Plato mencontohkan pada seekor kuda, bahwa
kuda mempunyai idea atau konsep universal yang berlaku untuk tiap-tiap kuda
yang ada di alam nyata ini, baik itu kuda yang berwarna hitam, putih ataupun
belang, baik yang hidup ataupun sudah mati. Idea kuda itu adalah faham,
gambaran atau konsep universal yang berlaku untuk seluruh kuda yang berada di
benua manapun di dunia ini. Demikian pula manusia punya idea. Idea manusia
menurut Plato adalah badan hidup yang kita kenal dan bisa berpikir. Dengan kata
lain, idea manusia adalah ”binatang berpikir”. Konsep binatang berpikir ini
bersifat universal, berlaku untuk seluruh manusia besar-kecil, tua-muda,
lelaki-perempuan, manusia Eropa, Asia, India, China, dan sebagainya.
Tiap-tiap sesuatu di alam ini mempunyai idea. Idea inilah
yang merupakan hakikat sesuatu dan menjadi dasar wujud sesuatu itu. Idea- idea
itu berada dibalik yang nyata dan idea itulah yang abadi. Benda-benda yang kita
lihat atau yang dapat ditangkap dengan panca indera senantiasa berubah. karena
itu, ia bukanlah hakikat, tetapi hanya bayangan. Dengan kata lain, benda-benda
yang dapat ditangkap dengan panca indera ini hanyalah khayal dan illusi belaka.
Argumen ontologis kedua dimajukan oleh St. Augustine (354– 430
M). Menurut Augustine, manusia mengetahui dari pengalaman hidupnya bahwa dalam
alam ini ada kebenaran. Namun, akal manusia terkadang merasa bahwa ia
mengetahui apa yang benar, tetapi terkadang pula merasa ragu-ragu bahwa apa
yang diketahuinya itu adalah suatu kebenaran. Menurutnya, akal manusia
mengetahui bahwa di atasnya masih ada suatu kebenaran tetap (kebenaran yang
tidak berubah-ubah), dan itulah yang menjadi sumber dan cahaya bagi akal dalam
usahanya mengetahui apa yang benar. Kebenaran tetap dan kekal itulah kebenaran
yang mutlak. Kebenaran mutlak inilah oleh Augustine disebut Tuhan. Ontologi ini
pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang
dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya antropologi, sosiologi,
ilmu kedokteran, ilmu budaya, fisika, ilmu teknik dan sebagainya). Ontologi
sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat benda bertugas untuk
memberikan jawaban atas pertanyaan “apa sebenarnya realitas benda itu? apakah
sesuai dengan wujud penampakannya atau tidak?”. Dari teori hakikat (ontologi)
ini kemudian muncullah beberapa aliran dalam persoalan keberadaan, yaitu:
1. Keberadaan dipandang dari segi
jumlah (kuantitas), menimbulkan beberapa akiran, yaitu :
-
Monisme, aliran yang menyatakan bahwa hanya satu keadaan
fundamental. Kenyataan tersebut dapat berupa jiwa, materi, Tuhan atau substansi
lainnya yang tidak dapat diketahui.
-
Dualisme (serba dua), aliran yang menganggap adanya dua
substansi yang masing-masing berdiri sendiri. Misal dunia indera (dunia
bayang-bayang) dan dunia intelek (dunia ide).
-
Pluralisme (serba banyak), aliran yang tidak mengakui
adanya sesuatu substansi atau dua substansi melainkan banyak substansi,
misalnya hakikat kenyataan terdiri dari empat unsur yaitu udara, api, air dan
tanah.
2. Keberadaan
dipandang dari segi sifat, menimbulkan beberapa aliran, yaitu:
-
Spiritualisme, mengandung arti ajaran yang menyatakan
bahwa kenyataan yang terdalam adalah roh yaitu roh yang mengisi dan mendasari
seluruh alam.
-
Materialisme, adalah pandangan yang menyatakan bahwa
tidak ada hal yang nyata kecuali materi.
3. Keberadaan
dipandang dari segi proses, kejadian, atau perubahan
-
Mekanisme (serba mesin), menyatakan bahwa semua gejala atau
peristiwa dapat dijelaskan berdasarkan asas mekanik (mesin).
-
Teleologi (serba tujuan), berpendirian bahwa yang berlaku
dalam kejadian alam bukanlah kaidah sebab akibat tetapi sejak semula memang ada
sesuatu kemauan atau kekuatan yang mengarahkan alam ke suatu tujuan.
-
Vitalisme, memandang bahwa kehidupan tidak dapat sepenuhnya
dijelaskan secara fisika, kimia, karena hakikatnya berbeda dengan yang tak
hidup.
-
Organisisme (lawannya mekanisme dan vitalisme). Menurut
organisisme, hidup adalah suatu struktur yang dinamik, suatu kebulatan yang
memiliki bagian-bagian yang heterogen, akan tetapi yang utama adalah adanya
sistem yang teratur.
Ø Epistemologi
Istilah epistemologi berasal dari
bahasa Yunani kuno, dengan asal kata “episteme” yang berarti pengetahuan dan
“logos” yang berarti teori’. Secara etimologi, epistemologi berarti teori
pengetahuan. Epistemologi atau teori pengetahuan adalah cabang filsafat yang
berurusan dengan hakikat dan ruang linkup pengetahuan, tentang asal, struktur,
metode serta keabsahan pengetahuan. Mula-mula manusia percaya bahwa dengan
kekuasaan pengenalannya ia dapat mencapai realitas sebagaimana adanya para
filosof pra Sokrates, yaitu filosof pertama di alam tradisi Barat, tidak
memberikan perhatian pada cabang filsafat ini sebab mereka memusatkan
perhatian, terutama pada alam dan kemungkinan perubahan, sehingga mereka kerap
dijuluki filosof alam.
Epistemologi mengkaji mengenai apa
sesungguhnya ilmu, dari mana sumber ilmu, serta bagaimana proses terjadinya.
Dengan menyederhanakan batasan tersebut, Brameld mendefinisikan epistomologi
memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran
kepada murid-muridnya”. Disamping itu banyak sumber yang mendefinisikan
pengertian Epistomologi diantarannya:
-
Epistemologi adalah cabang ilmu filasafat yang menengarai
masalah-masalah filosofikal yang mengitari teori ilmu pengetahuan.
-
Epistomologi adalah pengetahuan sistematis yang membahas
tentang terjadinnya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula
pengetahuan, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran
pengetahuan (Ilmiah).
-
Epistomologi adalah cabang atau bagian filsafat yang
membicarakan tentang pengetahuan yaitu tentang terjadinnya pengetahuan dan
kesahihan atau kebenaran pengetahuan.
-
Epistomologi adalah cara bagaimana mendapatkan pengetahuan,
sumber- sumber pengetahuan, ruang lingkup pengetahuan.
Dibawah ini ada beberapa metode agar dapat memperoleh pengetahuan
:
1. Metode Empiris
Empirisme
adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh
pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania,
mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis catatan
yang kosong (tabula rasa),dan di dalam buku catatan itulah dicatat
pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita
diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang
diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana
tersebut.
Ia
memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif menerima
hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun
rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi
yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun
objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali
secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah
pengetahuan mengenai hal-hal yang factual.
2. Metode Rasionalisme
Rasionalisme
berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena
rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling
dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme
yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di
dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang
sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di
dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
3. Fenomenalisme
Bapak
Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman.
Baran sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinyan sendiri merangsang alat
inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan
disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah
mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaanya sendiri, melainkan
hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada kita, artinya, pengetahuan
tentang gejala (Phenomenon). Bagi Kant para penganut empirisme benar bila
berpendapat bahwa semua pengetahuan di dasarkan pada pengalaman-meskipun benar
hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal
memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman.
4. Intusionisme
Menurut
Bergson, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan
seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dari dalam dirinya sendiri
pada saat iya menghayati sesuatu. Pengetahuan intuitif muncul secara tiba-tiba
dalam kesadaran manusia. Mengenai proses terjadinya, manusia itu sendiri tidak
menyadarinya. Pengetahuan ini sendiri hasil penghayatan pribadi sebagai hasil
ekpresi keunikan dan individualitas seseorang.
Dalam
pengertian secara umum, intuisi merupakan metode untuk memperoleh pengetahuan
tidak berdasarkan pengalaman rasio, dan pengamatan indra. Dalam filsafat paham
ini bertujuan agar manusia dapat memperoleh kebenaran yang hakiki. Menurut kaum
intuisionisme, dengan intuisi kita akan mengetahui dan menyadari diri kita
sendiri, mengetahui karakter perasaan orang lain dan motif orang lain.
5. Metode Kontemplatif
Metode
ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan manusia untuk memperoleh
pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkanpun akan berbeda-beda seharusnya
dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang
lewat ini bisa diperoleh dengan cara seperti yang dilakukan Imam Al-Ghazali.
intuisi dalam tasawuf disebut dengan ma'rifah yaitu pengetahuan yang datang
dari Tuhan melalui pencerahan dan penyiaran Al-Ghazali menerangkan bahwa
pengetahuan intuisi atau malimpah yang disinarkan oleh Allah secara langsung
merupakan pengetahuan yang paling benar. Pengetahuan yang diperoleh lewat
intuisi ini hanya bersifat individual dan tidak bisa dipergunakan untuk mencari
keuntungan seperti ilmu pengetahuan yang dewasa ini bila dikomersilkan.
6. Metode Dialektis
Dalam
filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk mencapai
kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun Plato
mengartikannya diskusi logika. Kini dialekta berarti tahap logika, yang
mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis sistematik
tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam metode peraturan, juga
analisis sistematika tentang ide mencapai apa yang terkandung dalam
pandangannya.
Dalam
kehidupan sehari-hari dialektika berarti kecakapan untuk melakukan perdebatan. Dalam
teori pengetahuan ini merupakan bentuk pemikiran yang tidak terasa dan satu
pikiran tetapi pemikiran itu seperti dalam percakapan. Berdebat paling
kurang dua pendapat. Hegel menggunakan metode dialektis untuk menjelaskan filsafatnya,
lebih luas dari itu. Menurut Hegel dalam realitas ini berlangsung dialektika.
Ada
juga beberapa teori yang dapat dijadikan acuan apakah pengetahuan itu benar
atau salah, yaitu :
*Teori
Korespodensi
Menurut teori ini kebenaran merupakan persesuaian antara
fakta dan situasi nyata. Kebenaran merupakan persesuaian antara pernyataan dan
pemikiran sengan situasi lingkungannya.
*Teori
koherensi
Menurut teori ini kebenaran bukan persesuaian antara
pemikiran dan kenyataan melainkan persesuaian secara harmonis antara
pendapat/pikiran kita dengan pengetahuan yang telah kita miliki.
Ø Aksiologi (manfaat)
Secara etimologis, istilah eksiologi
berasal dari bahasa Yunani Kuno, terdiri dari kata “aksios” yang berarti nilai
dan “logos” yang berarti teori. Jadi, aksiologi merupakan cabang dari filsafat
yang mempelajari nilai. Aksiologi mempelajari tentang hakikat nilai. Dalam hal
ini aksiologi berkaitan dengan kebaikan dan keindahan tentang nilai
dan penilaian. Hal ini merupakan bidang kajian tentang dari mana sumber nilai,
akar dan norma serta nilai subsransif dan standar nilai. Etika berkaitan dengan
kualitas, moralitas pribadi dan perilaku sosial. Drmikian pula etika merupakan
penentuan perilaku yang baik, masyarakat yang baik dan kehidupan yang baik.
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada
di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri.
Ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan
hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri,
atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu
manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu
sendiri.
Dasar aksiologis ilmu membahas
tentang manfaat yang diperoleh manusia dari pengetahuan yang didapatkanya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah memberikan kemudahan-kemudahan bagi
manusia dalam mengendalikan kekuatan-kekuatan alam. Dangan mempelajari atom
kita dapat memanfaatkan untuk sumber energi bagi keselamatan manusa, tetapi hal
ini juga dapat menimbulkan malapetaka bagi manusia. Penciptaan bom atom akan
meningkatkan kualitas persenjataan dalam perang, sehingga jika senjata itu
dipergunakan akan mengancam keselamatan umat manusia.
Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya
ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang
berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan
alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan
sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah
interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi
metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya,
sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada
pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar
bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber pada
penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo
pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa
untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Sejarah kemanusiaan di hiasi dengan
semangat para martir yang rela mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan apa
yang mereka anggap benar. Peradaban telah menyaksikan sokrates di paksa meminum
racun dan John Huss dibakar. Dan sejarah tidak berhenti di sini: kemanusiaan
tak pernah urung di halangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral
maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dapat melakukan prostitusi intelektual.
Penalaran secara rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti
sekarang ini berganti dengan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan
kebenaran.
2.4
Implementasi
Filsafat Pancasila dalam Kewarganegaraan
1.
Implementasi
dalam Partai Politik
Partai
politik di Indonesia selain sebagai pilar demokrasi yang memiliki peran sebagai
sarana artikulasi, komunikasi dan sosialisasi aspirasi yang berkembang dalam
masyarakat, sebagai arena pendidikan politik rakyat dan pembentuk kader bangsa
serta sebagai sarana penyelesaian konflik, kegiatannya harus selalu dalam kerangka
acuan (frame of reference)Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian partai
politik di Indonesia harus bertujuan sesuai dengan cita-cita dan tujuan
nasional yang diamanatkan Pembukaan UUD 1945. Pedoman yang perlu dijadikan
pegangan dalam kehidupan partai politik adalah :
a). Mengaktualisasikan kebersamaan
dalam kemajemukan untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional.
b). Mengaktualisasikan budaya
demokrasi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c). Penyampaian aspirasi rakyat dan
segenap perilaku partai politik harus menjamin tegaknya keselarasan dan
kerukunan serta budi luhur. Penyampaian aspirasi rakyat melalui partai politik
harus sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Segala
aspirasi hendaknya mengarah pada harmoni atau keselarasan, menghindari
polarisasi kawan dan lawan serta mengembangkan semangat inklusivistik dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Penyampaian pendapat bersendi pada akhlak
mulia, budi luhur dan beradab. Pernyataan dan ungkapan yang berisi hujatan,
caci-maki, tidak senonoh dan mendiskriditkan orang lain agar dihindari.
Aspirasi harus mengarah pada perkuatan persatuan dan kesatuan bangsa. Dihindari
konflik yang mengarah perpecahan (disintegrasi), separatisme dan sikap
radikalistik.
d). Pengambilan keputusan harus
sejalan dengan konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dalam
proses pengambilan keputusan bersama tidak boleh bertentangan dengan prinsip Pancasila
: Ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keputusan bersama mengikat dan mengandung sanksi; penyimpangan karena
penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang harus dihindari.
e). Mengaktualisasikan supremasi
hukum dan hak asasi manusia berdasar Pancasila.
f). Segenap perilaku partai
politik selalu bersendi pada keputusan bersama yang mengikat dan
mengandung sanksi terhadap penyimpangan penyalahgunaan kekuasaan dan
wewenang.
g). Pengawasan bermaksud memberikan
koreksi dan peringatan agar pelaksana bersikap jujur, adil, transparan dan
untuk kepentingan rakyat.
h). Program partai politik harus
mengarah pada kokohnya Pancasila sebagai dasar negara, utuh dan kuatnya Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang berpemerintahan presidensial dan bersemboyan
Bhinneka Tunggal Ika.
2.
Implementasi
dalam Kehidupan Demokrasi
Konsep,
prinsip dan nilai Pancasila harus diimplementasikan dalam kehidupan demokrasi
di Indonesia. Hal tersebut harus nampak antara lain dalam penyampaian pendapat,
pembuatan keputusan bersama dan dalam mengadakan pengawasan pelaksanaan
keputusan bersama.
a). Penyampaian pendapat
Dalam penyampaian pendapat ada ketentuan yang bersumber dari
sila-sila Pancasila dan tidak boleh dilanggar. Manusia adalah makhluk ciptaan
Tuhan, sebagai khalifah Tuhan di bumi wajib menjaga kelestarian segala
ciptaan-Nya. Segala kegiatan manusia hendaknya mengarah pada terwujudnya
harmoni atau keselarasan, dan oleh karena itu menghindari terjadinya polarisasi
yang tidak sesuai dengan Pancasila.
Dalam penyampaian pendapat selalu bersendi pada akhlak
mulia, budi luhur, dan beradab serta menghormati harkat dan martabat sesamanya,
sehingga dapat diwujudkan suasana kebersamaan yang menjamin persatuan dan
kesatuan bangsa. Dalam
penyampaian pendapat tidak mengutamakan kepentingan pribadi atau golongan
melainkan mengutamakan terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, sehingga tercegah terjadinya perpecahan, separatisme, dan sikap
radikalistik.
b).
Pembuatan keputusan bersama
Dalam pembuatan keputusan bersama harus berdasar pada
konsep, prinsip dan nilai Pancasila, dilandasi oleh sila keempat : Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Suara terbanyak bukan merupakan satu-satunya kriteria dalam pembuatan keputusan
bersama.
Keputusan bersama bukan keputusan pribadi-pribadi, tetapi
merupakan kontrak sosial yang harus dipatuhi oleh semua pihak, termasuk pihak
yang usulnya tidak disetujui. Keputusan bersama mengikat dan mengandung sanksi.
Sikap mau mengakui pendapat yang diputuskan bersama harus dikembangkan.
Dengan demikian Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/ perwakilan adalah suatu demokrasi yang bersifat
normatif, etis dan teleologis.
c).
Pengawasan pelaksanaan keputusan bersama
Dalam pengawasan pelaksanaan keputusan bersama pada dasarnya
bukan untuk mencari kesalahan, melainkan untuk memberikan peringatan dini
kepada pelaksana agar dalam melaksanakan tugas bersikap jujur, adil, transparan
dan mengutamakan kepentingan rakyat.
Kegiatan rakyat yang menyampaikan pendapat dan pembuat
keputusan bersama, para pelaksana kesepakatan bersama dan pengawas pelaksanaan
keputusan bersama harus bersinergi sesuai dengan fungsi masing-masing.
3.
Implementasi
dalam Hak Asasi Manusia
a). Manusia adalah makhluk
Tuhan Yang Maha Esa, berperan sebagai pengelola dan pemelihara alam secara
seimbang dan serasi dalam keimanan dan ketakwaan. Dalam mengelola alam, manusia
berkewajiban dan bertanggung jawab menjamin kelestarian eksistensi,
harkat dan martabat, kemuliaan, serta menjaga keharmonisannya.
b). Pancasila memandang bahwa,
hak asasi manusia dan kewajiban asasi manusia bersumber dari ajaran agama,
nilai moral universal, nilai budaya bangsa serta pengalaman kehidupan politik
nasional.
c). Hak asasi manusia meliputi
hak hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak
kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan dan hak kesejahteraan, yang tidak
boleh dirampas atau diabaikan oleh siapa pun.
d). Perumusan hak asasi manusia
berdasarkan Pancasila dilandasi oleh pemahaman bahwa kehidupan manusia tidak
terlepas dari hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan dengan lingkungannya.
e). Bangsa Indonesia menyadari,
mengakui, menghormati dan menjamin hak asasi orang lain sebagai suatu
kewajiban. Hak dan kewajiban asasi terpadu dan melekat pada diri manusia,
sebagai pribadi, anggota keluarga, anggota masyarakat, anggota suatu bangsa dan
anggota masyarakat bangsa-bangsa.
f). Negara Kesatuan Republik
Indonesia mempunyai hak asasi yang harus dihormati dan ditaati oleh setiap
orang/warga negara.
g). Bangsa dan Negara Indonesia
sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mempunyai tanggung jawab dan
kewajiban menghormati ketentuan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun
1948 dengan semua instrumen yang terkait, sepanjang tidak bertentangan dengan
Pancasila.
2.5
Permasalahan
dan Solusi
Faktor-Faktor Problematika Kebangsaan
Problematika menurut Martin Heidegger adalah ketidakcocokan
antara das sein (apa yang terjadi) dengan das sollen (apa yang seharusnya
terjadi). Analisis penulis, berikut adalah sebagian besar faktor yang
menyebabkan terjadinya problematika kebangsaan. Diantaranya;
1)
Intoleransi karena Kedangkalan
Spritualitas
Laporan
The Wahid Institute menyebutkan praktek intoleransi sepanjang tahun 2013 yang
dialami kelompok agama minoritas seperti Ahmadiyah, Syiah, Protestan, Katolik,
dan mereka yang dituduh sesat sebanyak 245 kasus. Hal ini diperparah oleh
gagalnya Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama dibahas dalam program
legislasi nasional di DPR 2010-2014.
2)
Defisit Moral
Setelah
maraknya kekerasan terhadap ideologi karena berbeda keyakinan hingga berdampak
pada intoleransi, problematika bangsa kemudian ditambah dengan kekerasan secara
fisik. Kenyataan itu tercermin dari maraknya pelecehan seksual, SARA, kejahatan
geng motor hingga pembunuhaan akhir-akhir ini.
3)
Disintegrasi Bangsa
Disintegrasi
bangsa adalah upaya untuk memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) yang telah susah payah diperjuangkan oleh para pendiri bangsa berpuluh
tahun lamanya. Disintegrasi tersebut kemudian melahirkan gerakan separatis
berupa pemberontakan untuk berpisah dari NKRI seperti yang pernah dilakukan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan sampai sekarang diupayakan oleh Papua yang
menginginkan lepas atau katanya merdeka dari Indonesia.
4)
Krisis Kepemimpinan (Politik dan
Hukum)
Reformasi
yang diagung-agungkan sebagai simbol demokrasi Indonesia demi kepemimpinan yang
lebih demoktatis dan menjauh dari tirani kekuasaan orde baru dan lama ternyata
masih berpunggungan antara harapan dan kenyataannya. Faktanya, sejak era
reformasi angka golput justru makin bertambah. Pemilu 1999 angka golput 10,21%,
Pemilu 2004 naik menjadi 23,34%, dan Pemilu 2009 naik lagi menjadi 29,01%.
Bandingkan dengan angka golput pada pemilu era Orde Lama dan Orde Baru (1955,
1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997) yang tak pernah lebih dari 10%.
Untuk
Pemilu Presiden dan Pemilu Kepala Daerah, angka golput juga tinggi. Pilpres
2004 angka golput 21,5%, Pilpres 2009 naik menjadi 23,3% (angka partisipasi
pemilih Pilpres 2009 sebesar 72,09%). Angka golput pemilukada rata-rata 27,9%.
Namun, hasil pemilu 2014 yang baru dirilis KPU baru-baru ini menunjukkan tren
positif dengan meningkatnya partisipasi pemilih menjadi 75,11 %. Itu baru
kepemimpinan politik, belum termasuk kepemimpinan hukum yang masih menyisakan
problematika tersendiri yang tak kalah mencemaskannya. Lihat saja kasus suap
hakim, polisi dan jaksa yang berujung pada tertangkap tangannya suap hakim
Mahkamah Konsitusi; Akil Muchtar.
5)
Korupsi dan Pemiskinan
Berbicara
mengenai problem bangsa, akal kita seakan-akan otomatis berpindah pada apa yang
disebut sebagai korupsi. Penjarahan uang rakyat oleh pejabat pemerintah. Mulai
dari menteri, kepala daerah hingga bank, semuanya tergiur dengan korupsi.
Setali tiga uang, korupsi kemudian melahirkan anak kandung yang bernama
pemiskinan. Dikatakan pemiskinan, bukan kemiskinan karena jumlahnya yang banyak
dan telah menjadi masalah bangsa turun-temurun dan belum menemui jalan
keluarnya. Padahal, jika dikelola dengan baik, sumber daya alam bangsa kita
yang kaya ini tentulah cukup untuk menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia.
Mentalitas Pancasila sebagai Solusi Problematika Bangsa
Dalam
buku Yudi Latif; Negara Paripurna, disebutkan bahwa Pancasila merupakan proses
penggalian secara mendalam dari apa yang ada pada bangsa Indonesia sendiri.
Bukan ikut-ikutan bangsa lain. Maka sekarang, kita dengan bangga menyebut
Indonesia sebagai bangsa yang mandiri dan berdiri pada kaki sendiri. Bukan
bangsa fotokopi. Ideologi murni Indonesia. Bukan ideologi kapitalis
kanan, komunis kiri ataupun Islam. Pancasila merupakan lima Dasar Negara.
Pertanyaan kemudian, sejauh mana mentalitas pancasila dapat menjawab
problematika kebangsaan?
Intoleransi
disebabkan oleh kedangkalan spritualitas. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
meniscayakan kita sebagai bangsa Indonesia untuk menghargai keyakinan orang
lain selama tidak mengganggu keyakinan orang atau kelompok lain. Dengan ego
Tauhid, kita memahami bahwa kita semua adalah makhluk dan berasal dari Diri
Yang Satu; Tuhan. Sementara, defisit moral terjadi karena kita lebih sering mendahulukan
kepentingan diri di atas kepentingan sosial. Kita tidak memanusiakan manusia.
Kita tidak menjalankan apa yang diamanatkan oleh sila kedua; kemanusiaan yang
adil dan beradab (moral/etika).
Sementara
disintegrasi bangsa yang memicu perpecahan NKRI berawal dari paham sempit yang
merasa suku atau daerah lebih unggul ketimbang suku, daerah atau bahkan bangsa
Indonesia. Seandainya kita memahami sejarah, tentulah kita sadar bahwa kita
lahir sebagai bangsa Indonesia atas perjuangan bersama melawan penjajahan yang
kemudian menginspirasi para pejuang bangsa untuk mengikrarkan sila ketiga;
Persatuan Indonesia. Bersatu untuk melawan pengaruh buruk dari pihak luar
(Nasionalisme Negatif) dan bersatu untuk menawarkan yang baik dari dalam
(Nasionalisme Positif).
Adapun
krisis kepemimpinan baik dalam segi hukum maupun segi politik tentukah
menciderai cita-cita luhur demokrasi. Hal ini terbukti dari kasus suap hakim
dan politik uang. Sila keempat sebenarnya telah menjawab solusi dari masalah
dari ini berpuluh-puluh tahun lalu dengan mengutamakan musyawarah yang dipimpin
oleh ia yang hikmat lagi bijaksana. Namun, kesejahteraan politik takkan bisa
tercapai jika masih ada perut yang kosong. Dengan kata lain, kesejahteraan
politik harus selalu berbarengan dengan kesejahteraan ekonomi. Penerapan
keadilan secara distributif (proporsional) dan komutatif (sama rata) kepada
seluruh rakyat Indonesia merupakan solusi kelima yang ditawarkan oleh
Pancasila.
Kesadaran Berpancasila adalah Kunci Kesadaran Bernegara dan Berwilayah
Tanah
air mental atau Pancasila adalah kunci untuk meransang kesadaran bernegara dan
berwilayah. Wilayah geografis kita tak ada artinya jika tidak diatur oleh para
pejabat Negara. Sementara pejabat Negara tidak dapat dikatakan Negarawan jika
tidak bermental pancasila. Mental adalah jiwa atau watak dari suatu entitas.
Maka, watak kita sebagai bangsa, tercermin dari sejauh mana kita menerapkan
nilai-nilai yang ada Pancasila. Baik dari kelima silanya maupun 45 butir
Pancasila sebagai pedoman praktis dalam berbangsa. Inti dari Pancasila adalah
gotong-royong atau kebersamaan. Menolak mentah-mentah paham individualis. Jadi,
untuk dapat dikatakan berbangsa atau lebih luhurnya berindonesia, milikilah
jiwa yang gotong-royong, jiwa kebersamaan.
2.6
Perkembangan
Filsafat Pancasila dalam Pendidikan Kewarganegaraan
Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup
bangsa Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat
sistematis, fundamental dan menyeluruh. Untuk itu sila-sila Pancasila merupakan
suatu nilai-nilai yang bersifat bulat dan utuh, hierarkhis dan sistematis. Dalam pengertian inilah maka sila-sila
Pancasila merupakan suatu sistem filsafat. Konsekuensinya kelima sila bukan
terpisah-pisah dan memiliki makna sendiri-sendiri, melainkan memiliki esensi
serta makna yang utuh.
Pancasila sebagai filsafat bangsa dan
negara Republik Indonesia mengandung makna bahwa setiap aspek kehidupan
kebangsaan, kemasyarakatan dan kenegaraan harus berdasarkan nilai-nilai
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Pemikiran filsafat
kenegaraan bertolak dari pandangan bahwa negara adalah merupakan suatu
persekutuan hidup manusia atau organisasi kemasyarakatan, yang merupakan
masyarakat hukum (legal society).
Adapun negara yang didirikan oleh manusia
itu berdasarkan pada kodrat bahwa manusia sebagai warga negara sebagai
persekutuan hidup adalah berkedudukan kodrat manusia sebagai mahluk Tuhan Yang
Maha Esa (hakikat sila pertama).
Negara yang merupakan persekutuan hidup manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha
Esa, pada hakikatnya bertujuan untuik mewujudkan harkat dan martabat manusia
sebagai mahluk yang berbudaya atau mahluk yang beradab (hakikat sila kedua). Untuk mewujudkan suatu negara sebagai suatu
organisasi hidup manusia harus membentuk suatu ikatan sebagai suatu bangsa (hakikat sila ketiga). Terwujudnya
persatuan dan kesatuan akan melahirkan rakyat sebagai suatu bangsa yang hidup
dalam suatu wilayah negara tertentu.
Konsekuensinya dalam hidup kenegaraan itu haruslah mendasarkan pada nilai bahwa
rakyat merupakan asal mula kekuasaan negara. Maka negara harus bersifat
demokratis, hak serta kekuasaan rakyat harus dijamin, baik sebagai individu
maupun secara bersama (hakikat sila
keempat). Untuk mewujudkan tujuan negara sebagai tujuan bersama, maka dalam
hidup kenegaraan harus mewujjudkan jaminan perlindungan bagi seluruh warga,
sehingga untuk mewujudkan tujuan seluruh warganya harus dijamin berdasarkan
suatu prinsip keadilan yang timbul dalam kehidupan bersama/kehidupan (hakikat sila kelima).
Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup
bangsa Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat
sistematis fundamental, dan menyeluruh. Untuk itu, sila-sila Pancasila
merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat bulat dan utuh, hierarkis, dan
sistematis. Dalam pengert ian inilah, sila-sila Pancasila merupakan suatu
sistem filsafat. Konsekuensinya kelima sila tidak terpisah-pisah dan memiliki
makna sendiri-sendiri, tetapi memiliki esensi serta makna yang utuh.
Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia
mengandung makna bahwa setiap aspek kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan, dan
kenegaraan harus berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Pemikiran filsafat kenegaraan bertolak
dari pandangan bahwa negara adalah merupakan suatu persekutuan hidup manusia
atau organisasi kemasyarakatan, yang merupakan masyarakat hukum (legal
society}.
Adapun negara yang didirikan oleh manusia itu berdasarkan pada kodrat
bahwa manusia sebagai warga negara, yaitu sebagai bagian persekutuan hidup yang
mendudukkan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa (hakikat sila
pertama). Negara yang merupakan persekutuan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa, pada hakikatnya bertujuan mewujudkan harkat dan martabat manusia
sebagai makhluk yang berbudaya atau makhluk yang beradab (hakikat sila kedua).
Untuk mewujudkan suatu negara sebagai suatu organisasi hidup, manusia harus
membentuk suatu ikatan sebagai suatu bangsa (hakikat sila ketiga). Terwujudnya
persatuan dan kesatuan akan melahirkan rakyat sebagai suatu bangsa yang hidup
dalam suatu wilayah negara tertentu.
Konsekuensinya, hidup kenegaraan itu haruslah didasarkan pada nilai
bahwa rakyat merupakan asal mula kekuasaan negara. Maka itu, negara harus
bersifat demokratis, hak serta kekuasaan rakyat harus dijamin, baik sebagai
individu maupun secara bersama (hakikat sila keempat). Untuk mewujudkan tujuan
negara sebagai tujuan bersama, dalam hidup kenegaraan harus diwujudkan jaminan
perlindungan bagi seluruh warga. Dengan demikian, untuk mewujudkan tujuan,
seluruh warga negara harus dijamin berdasarkan suatu prinsip keadilan yang
timbul dalam kehidupan bersama (hakikat sila kelima).
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Filsafat
Pancasila secara umum adalah hasil berpikir/pemikiran yang sedalam-dalamnya
dari bangsa Indonesia yang dianggap, dipercaya dan diyakini sebagai sesuatu
(kenyataan, norma-norma, nilai-nilai) yang paling benar, paling adil, paling
bijaksana, paling baik dan paling sesuai bagi bangsa Indonesia yang berdasarkan
pada Pancasila. Berfikir filsafat haruslah secara radikal, universal,
konseptual, koheren, sistematik, komprehensif, bebas, dan bertanggungjawab.
Dalam berfilsafat hendaknya sesuai dengan tahapan yaitu ontologi, epistemologi,
dan aksiologi.
Implementasi pancasila dalam pendidikan kewarganegaraan diantaranya adalah
implementasi dalam partai polotik, dalam kehidupan demokrasi, dan dalam HAM.
Dalam penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pancasila, maka solusinya
harus diselesaikan dengan berdasarkan pada prinsip Pancasila.
3.2
Saran
Demikian makalah yang
kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila ada saran dan kritik
yang ingin di sampaikan, silahkan sampaikan kepada kami. Apabila terdapat kesalahan
mohon dapat mema'afkan dan memakluminya, karena kami adalah hamba Allah yang
tak luput dari salah khilaf, Alfa dan lupa.
DAFTAR PUSTAKA
SEMOGA BERMANFAAT :)
SILAHKAN COPY DAN SERTAKAN LINK SUMBER NYA YA ;)
JANGAN JADI PEMUDA PENJIPLAK , JADILAH ANAK BANGSA YANG BANGGA DENGAN KARYA SENDIRI DAN MENGHARGAI KARYA ORANG LAIN :) ;)
DON'T BE SILENT READ !!!!!!
DON'T BE SILENT READ !!!!!!
No comments:
Post a Comment